BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Penyakit
kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih
tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud
bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara
yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan
ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut
dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit menahun
yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka
panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi
terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk
seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi
yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua
kali lebih tinggi dari wanita.
B. Tujuan
1.
Makalah ini dibuat
dengan tujuan sebagai berikut :
a.
Untuk menjelaskan
definisi kusta.
b.
Untuk menjelasakan
bagaimanakah klasifikasi kusta.
c.
Untuk menjelasakan
bagaimanakah etiologi kusta.
d.
Untuk menjelasakan
bagaimanakah patofisiologi kusta.
e.
Untuk menjelasakan
bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
f.
Untuk menjelaskan
bagaimanakah pencegahan kusta.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Kusta
adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes
RI, 1998)Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi
mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit
infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler
obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang,
dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit
menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai
cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
2.
Epidemiologi :
Masalah
epidemiologi belum dapat terpecahkan , cara penularan belum dapat diketahui
secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan lain ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup selama
beberapa hari dlm droplet.
Penyebaran
penyakit kusta dari satu tempat ke tempat yang lain sampai tersebar diseluruh
dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Malenesia termasuk indonesia
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina . Distribusi penyakit ini dalam satu
negara maupun tiap-tiap negara ternyata
berbada-beda.
Faktor-faktor
yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab , cara penularan ,
keadaan sosial ekonomi dan lingkungan,varian genetik yang berhubungan dengan
kerentanan , perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reserfoir diluar
manusia.
Kusta
bukan penyakit keturunan . Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan ASI, jarang ditemukan dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas
.Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang
semua umur , dimana anak-anak lebih rntan daripada orang dewasa. Frekuensi
tertinggi pada orang dewasa adalah pada usia antara 25-35 tahun.
Kusta
dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi ,dan deformitas. Penderita kusta bukan
menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan oleh
masyarakat sekitarnya.
3. Etiologi :
Klasifikasi
ilmiah.
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Upaordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : M.
Leprae.
Mikobakterium leprae
merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf
perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati,
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium
leprae 12-21 hari dan masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Kuman kusta berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
4.
Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta :
a) Sumber Penularan
Hanya manusia
satu-satunya sampai saat
ini yang dianggap
sebagai sumber penularan walaupun
kuman kusta dapat
hidup pada armadillo,
simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai
kelenjar thymus
b) Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung
telah lama dikenal
sebagai sumber dari
kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe
Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.
Dan telah terbukti
bahwa saluran napas
bagian atas dari
penderita tipe Lepromatous
merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan
c) Cara Penularan
Kuman
kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar
dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui
secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta.
Secara teoritis penularan
ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang
lama dengan penderita.
Penderita yang sudah
minum obat sesuai
dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain.
d) Cara Masuk ke Pejamu
Tempat
masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang tidak utuh
e) Pejamu
Hanya
sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya
imunitas. M. leprae
termasuk kuman obligat intraseluler dan
sistem kekebalan yang
efektif adalah sistem
kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan,
serta faktor infeksi
dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan
klinis penyakit kusta.
Dari studi keluarga
kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang
berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta,
hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut,
sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.
5. Patogenesis :
Patogenitas
dan daya invasi rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu, kusta dapat disebut penyakit imunologik. Gejala klinisnya
lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas
infeksinya.
Masuknya M.Leprae
ke dalam tubuh
akan ditangkap oleh
APC (Antigen Presenting Cell)
dan melalui dua
signal yaitu signal
pertama dan signal
kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR-
terkait antigen (TCR = T
cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada
permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya
pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan
ligan sel T
melalui CD28. Adanya
kedua signal ini
akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan
Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th2 akan
menghasilkan IL 4, IL 10,
IL 5, IL 13.
IL 5 akan
mengaktifasi dari eosinofil. IL4 dan IL10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL
4akan mengaktifasi sel B untuk
menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4,
IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II
akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara
lengkap akan menyebabkan respon kearah
Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy,
kita akan melihat bahwa Th1 akan
lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous
leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan dengan Th1.
APC pada kulit
adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui
darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang
paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba
dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi
mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan
dari IDC menjadi DC. Idc akan
diaktifkan oleh adanya
peptida dari MHC
pada permukaan sel,
selain itu dengan adanya
molekul kostimulator CD86/B72,
CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari
jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari
CCR7 ( reseptor
kemokin satu –
satunya yang diekspresikan
oleh DC matang). M. Leprae
mengaktivasi DC melalui
TLR 2 – TLR 1
heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti
19kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya
kerentanan terhadap leprosy.
Mycobacterium
leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir semua
komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf
tepi. Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.
Kemampuan untuk
merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang
mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat
atau mereka melukai dirinya sendiri. Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan
kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan
kaki terkulai.
Karena itu penderita lepra menjadi
tampak mengerikan. Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.
Kerusakan pada
saluran udara di hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata dapat
menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra
lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of
extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengansel
schwaan melalui reseptor
dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan
CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1
dan Th2 dimana
Th1 dan Th2
akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat
adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya
di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag
akan merangsang dia
bekerja terus-menerus untuk menghasilkan
sitokin dan GF
yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan
GF tidak mengenelai bagian self atau
nonself sehingga akan merusak
saraf dan saraf yang rusak
akan diganti dengan
jaringan fibrous sehingga
terjadilah penebalan saraf
tepi. Sel schwann merupakan APC
non professional.
Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode
akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman
atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta
yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I
sering disebut reaksi
lepra non nodular
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe
IV (Delayed Type Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita
jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan
mengakibatkan perubahan sistem
imunitas selluler yang
cepat. Hasil dari
reaksi ini ada
dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction ,
dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas
selluler) dan biasanya
terjadi pada respon
terhadap terapi, dan downgrading, dimana
terjadi pergeseran ke
arah lepromatous (penurunan
sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi. Reaksi
kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe
III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi
ini sering terjadi pada pasien
LL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan antibodi
membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen
akan berikatan pada komples , imun
dan merangsang netrofil
untuk menghasilkan enzim
lisosom. Enzim lisosom akan
melisis sel.
6.
Gejala klinis :
Bila
kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, maka dapat
timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.Bentuk tipe klinis
tergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik maka
akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid,
dan sebaliknya apabila SIS rendahakan memberikan gambaran ke arah lepromatosa.
Bentuk-bentuk
Lepra :
1. Bentuk
Lepra tuberkuloid.
Disebut juga dengan nama Lepra
paucibacillair. Pada tahap ini pasien masih mudah disembuhkan, karena ternyata
pasien LT masih punya daya-tangkis imunologi yang baik. Bentuk ini paling
sering dijumpai, kurang lebih 75% dari jumlah penderita akan tetapi tidak
bersifat menular. Gejalanya pertama, berupa noda-noda putih pucat dikulit yang
hilang-rasa dan penebalan saraf-saraf yang nyeri diberbagai tempat diseluruh
tubuh, terutama di telinga, muka, kaki-tangan. Dapat merusak saraf-saraf jika
tidak segera diobati, oleh karena tidak luka-luka nya yang dirasakan pasien,
maka biasanya lama-kelamaan lukanya akan membentuk borok, dan membuat puntung
terutama jika luka yang menginfeksi kaki-tangan (cacat hebat sekunder).
2. Bentuk Lepra lepromatosa atau Lepra multibacillair.
Adalah bentuk tersebar
yang sangat menular dan banyak terdapat basil, dengan ciri bentol merah
(nodule), demam, dan anemia. Pasien yang terkena bentuk lepra yang kedua ini
bisa dikatakan dengan pasien “berparas-singa”. Karena timbul deformasi akibat
infiltrat di muka, kelumpuhan urat saraf-saraf muka (paresis facialis) dan
mutilasi hidung karena rapuhnya tulang rawan. Bila tidak diobati, pasien yang
terkena basil ini akan mengalami kerusakan organ juga.
3. Bentuk Lepra borderline (LB)
adalah bentuk kombinasi dari kedua bentuk diatas yaitu LT dan LL, yang
akan terbagi lagi menjadi tiga bentuk peralihan. Tergantung dari cirinya masing-masing apakah
menjadi LTB (lepra tuberculoid borderlin), LLB (lepra lepromateus borderline),
dan lepra tak tentu.
Menurut klasifikasi
Ridley-Jopling 1962 kusta terbagi atas :
|
7. Pemeriksaan
Penujnjang Diagnostik :
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan
bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau
multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
2) BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan
saraf tepi, nyeri tekan, parastesi
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada
gambaran klinis bakterioskopik , histopatologis dan serologis.
1.Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit )
Pemeriksaan
bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung kuman M. Leprae.
Cara
pengambilan bahan kerokan :
Ketentuan
pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1.
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya
dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan
dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit
yang baru timbul.
4.Lokasi
pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang
aktif ditempat lain
5.
Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada
mikobakterium lain
c. Tidak pernah
ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada
pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif
dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6.
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a.
Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis
secara klinis sebagai
pasien kusta
c. Semua pasien
kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis
dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
Cara Pemeriksaan
sediaan BTA lepra
a) Pengambilan jaringan
kulit
a.Bagian yang diambil ,dibersihkan
dengan kapas alcohol
b.Bagian
tersebut dijepit diantara ibu jari dan jari telunjuk sedemikian kuat sehingga
kulit kelihatan menjadi pucat, supaya kemungkinan perdarahan sedikiy sekali.
c. Dengan lancet
steril dibuat sayatan sepanjang ±1/2 cm sedalam 2 mm
d.Darah yang
keluar pertama dibersihkan, kemudian sisa dan dasar luka dikerok dengan vaccine
pen untuk mendapatkan bubur jaringan epidermis dan dermis
b) Pembuatan preparat
a. Siapkan objeck glass
yang bersih dan bebas lemak, diberi kode / tanda tentang no. lab., sampel yang
diambil, daerah / bagian yang akan dipulas dengan sampel dsb.
b. Bubur jaringan yang
sudah diambil dipulaskan pada objeck glass yang sudah siap sedemikian rupa
sehingga diperoleh smear yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis,
dengan diameter 1 – 1,5 cm
c.
Biarkan kering dengan sendirinya di udara
d. Setelah kering di
fiksasi dengan melewatkannya diatas nyala api Bunsen 2 – 3 kali, setelah dingin
baru boleh dicat
c) Pengecatan
a.
Sediaan yang telah kering dilakukan fiksasi selama 5 menit.
b.Sambil difiksasi,
digenangi dengan Carbol Fuchsin 0,3%,
dipanaskan diatas bunsen sampai menguap
selama 5 menit
c.
Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
d.
Warna merah pada sediaan dilarutka dengan asam alkohol 3%
e.
Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
f.
Digenangi dengan larutan methylen blue selama 20 – 30 detik
g.
Dicuci dengan air mengalir dan di keringkan
h.
Diamati dibawah mikroskop
d) pembacaan sediaan
a. Sediaan yang telah kering ditetesi minyak
imersi, dilihat dengan mikroskop dengan pembesaran 100x
b. Dicari dengan adanya
batang panjang atau pendek yang berwarna merah dengan latar belakang berwarna
biru.
Cara menghitung BTA dalam lapangan
mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau
seperempat lingkaran.Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
Indeks Bakteri (IB):
Merupakan
ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk
menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan
menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100
lapangan pandang
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan
pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan
pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan
persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui
daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan
resistensi terhadap obat.
2. Pemeriksaan
Histopatologik
Salah
satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada kuman M leprae
masuk, tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila sistem
imunitas selulernya baik maka makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.
Datangnya histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan
adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang
harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat
bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya
massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasaan.
Granuloma
adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik
tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannnya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe
borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
3. Pemeriksaan
serologik
Pemeriksaan
serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap
M.leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara
lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis.
Kegunaan
pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya pada
narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:
- Uji MLPA (mycobacterium leprae particle
aglutination)
- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent
assay)
- ML dipstick test (Mycobacterium leprae
dipstick)
- ML flow test (Mycobacterium leprae flow
test)
8. Pencegahan penyakit
kusta :
1. Pencegahan primer
Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan :
a.
Penyuluhan kesehatan
Pencegahan
primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta
dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan
penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan
memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas
kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan
dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran
penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan
masyarakat (Depkes RI, 2006)
b.
Pemberian imunisasi
Sampai
saat ini belum ditemukan upaya
pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994).
Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi
BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,
sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI,
2006).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan
pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan
penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat
yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita
kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber
kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
3. Pencegahan tertier
a.
Pencegahan cacat kusta
Pencegahan
tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan
cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
a. Upaya
pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat,
pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya
kerusakan fungsi saraf.
b. Upaya
pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi
saraf.
c. b.
Rehabilitasi kusta
d. Rehabilitasi
merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara
maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental,
sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan
yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial
dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes
RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
e. Latihan
fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya
kontraktur.
f. Bedah
rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat
tekanan yang berlebihan.
g. Bedah
plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
h. Terapi
okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada
tangan.
i.
Konseling dilakukan
untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
9.Pengobatan terhadap
penyakit kusta :
Tujuan utama program pemberantasan
kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular
kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy
(MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis
obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin
600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis
obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin
600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari
diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c)
Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur,
dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan
100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg
BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT
terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang
tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO,
sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis
dari yang seharusnya.
10. Reaksi Kusta
Reaksi
kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui dengan pasti
sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum jelas tersebut akan
diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun tubuh kita dapat
menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta
tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi eritema nodosum
leprosum (ENL) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.
ENL
terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan timbulnya ENL.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompelks imun akibat reaksi antara antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG)
+ komplemen yang kemudian akan menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya
kompleks imun ini maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun.
Kadar antibodi imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada
tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah
kuman jauh lebig banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi
pada saat pengobata. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan hancur
yang kemudian kuman – kuman lepra ini akan menjadi antigen, dengan demikian
akan meningkatkan terbentuknya komplek imun. Kompleks imun ini terus beredar
dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai
organ.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan :
a. Kusta
adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
b. Kusta
dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
-kusta bentuk kering (tipe
tuberkuloid)
-kusta bentuk basah (tipe
lepromatosa)
c. Micobakterium
leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
d. Micobakterium
leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon
imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun
jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih
mengarah pada lepromatosa.
e. Manifestasi
klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas.
f. Penularan
penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta
yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain
itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia,
jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.
g. Untuk
pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara
primer, sekunder dan tersier.
h. Dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah
melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan,
kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensif.
2. Saran :
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya
pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan
kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui
gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.
Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong
tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta
yang efektif
Terima kasih makalahnya mbak , menambah wawasan, oya untuk referensi lain mungkin bisa juga baca2 disini mengenai rehabilitas kusta http://www.tanyadok.com/kesehatan/rehabilitasi-untuk-penderita-kusta
BalasHapus