Rabu, 13 November 2013

makalah clostridium tetani


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana… dalam udara yang kita hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak.Bakteri berasal dari kata Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio Schizomycetes.
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus,langsing,berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron.
Bakteri clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit tetanus. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.
Clostridium tetani bisa menguntungkan dan juga merugikan bagi manusia.
Dari data dan permasalahan diatas,maka penulis tertarik  untuk mengangkat tentang bakteri clostridium tetani ke dalam sebuah makalah yaitu dengan judul “clostridium tetani
B.  Tujuan Penulisan Makalah
1.    Tujuan umum
Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan memperoleh gambaran tentang bakteri clostridium tetani.
2.    Tujuan khusus
a.       Mahasiswa diharapkan mampu mengenali ciri-ciri clostridium tetani.
b.      Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui penyakit yang di timbulkan oleh clostridium tetani.


BAB II
ISI
A.  Taksonomi
Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah :
Kingdom         : Bacteria
Division           : Firmicutes
Class                : Clostridia
Order               : Clostridiales
Family             : Clostridiaceae
Genus              : Clostridium
Species            : Clostridium tetani
Tetanus yang sungguh sudah dikenal oleh orang-orang yang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, C.tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama perang dunia ke-II.
B.     Epidemiologi
Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping sanitasi lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, pemyakit ini masih banyak dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan. Perawatan luka yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan terhadap tetanus. Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan luka yang buruk.
Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering ialah tetanus neonatorum yang memb unuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak terimunisasi men inggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi C.tetani pada luka paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang menjadi kasus yang sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses, pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronik, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau setelah injeksi intramuskuler obat-obatan.
C.    Morfologi
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.






D.    Cara penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
ü  Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
ü  Luka baker tingkat 2 dan 3
ü  Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
ü  Luka-luka di bawah kuku
ü  Ulkus kulit yang iskemik
ü  Luka bekas suntikan narkoba
ü  Bekas irisan umbilicus pada bayi
ü  Endometritis sesudah abortus septic
ü  Abses gigi
ü   Mastoiditis kronis
ü  Ruptur apendiks
ü  Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja
E.  Gejala
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1.    Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2.    Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3.    Ketegangan otot dinding perut
4.    Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior)
5.    Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6.    Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
7.    Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme mjula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang kuat.
8.    Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9.    Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10.    Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan intrakranial.


Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1.      Localited tetanus (tetanus local)
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus local. Kontraksi otot btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi genelarized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2.      Cephalic tetanus ( tetanus sefalik )
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
3.      Generalized tetanus (tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang paling sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicua (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan  bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan perdarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum. Tetanus Neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.6
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1.      Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2.      Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3.      Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.
Ablett mengklasifikasikan tetanus sebagai:
1.      Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2.      Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.
3.      Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
4.      Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.





F.   Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan megakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun demikian, luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan porte d’entree dari C. Tetani. Juga sering ditemukan telinga dengan otitis media perforata sebagai tempat masuk C. Tetani. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf otonom. Pada masa pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh liran darah sistemik dan serabut saraf perifer. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin :
1.    Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat
2.    Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan teikat, tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin.
Eksotoksin dari Clostridium tetani dipisahkan menjadi 2 yaitu Tetanolisisn dan Tetanospasmin. Tetanolisin yang mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terika pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanopasmin yang dilepas akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam badan sel batang otak dan saraf spinal.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitori yaiutu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneron yang mneghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neurotransmitter dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mnegakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermitten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuscular dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang tersedia setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid.
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan kanan dan kaki relatif jarang terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi resinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trimus),  pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekauan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.
G.  Diagnosa Laboratorium
      Diagnosis tetanus ditegakan berdasarkan gejala-gejala klinik yang khas. Secara bakteriologi biasanya tidak diharuskan oleh karena sukar sekali mengisolasi Clostridium tetani dari luka penderita, yang kerap kali sangat kecil dan sulit dikenal kembali oleh penderita sekalipun.
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
ü  Gejala klinik
ü  Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile )
ü  Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
ü  Kultur        : C. tetani (+).
ü  Lab            : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
sifat-sifat biakan dan biokimiawi dari Clostridium tetani pada saat diinkubasi pada suhu 37 º C yaitu :
ü Pada agar nutrient  : koloni bulat tak teratur, jernih, kuning kelabu dengan permukaan berbutir dan tepi yang tidak rata
ü Pada agar darah terbentuk alfa hemolisis setelah 2 – 3 hari maka hemolisis sempurna ( Beta Hemolisa ). Spora terbentuk dalam media setelah 3 hari.
ü  Perbenihan pada daging rebus      : Tidak dicerna dan menjadi hitam setelah beberapa hari
ü  Gelatin                               : tidak dicairkan
ü  litmus  milk                        : tidak diubah
ü  tidak menfermentasi          :  karbohidrat
ü  H2S            : positif
ü  Indol          : positif
ü  Nitrat         : tidak direduksi
Struktur antigen dari Clostridium tetani yaitu :
1.      Antigen O              : Semuanya sama pada semua strain
2.      Antiggen H            : Beberapa tipe C. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagella spesifik
Resistensi dari Clostridium tetani yaitu :
1.      Bentuk vegetative : Tidak tahan terdapat pemanasan dan desinfektan
2.      Bentuk spora         : Mati pada pemanasan 121̊selama 15 menit.
H.  Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :
a)      imunisasi aktif dengan toksoid
b)      perawatan luka menurut cara yang tepat
c)      penggunaan antitoksi profilaksis
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif ( DPT atau DT ).
I.     Pengobatan
1.    Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30 - 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2.    Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3.    Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4.    Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
ü   Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
ü  Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
ü  Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
ü  Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana, dalam udara yang kita hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak. Bakteri berasal dari kata Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio Schizomycetes.
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri Clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit tetanus.
B.  Saran
      Kami mengaharap dan menghimbau kepada para pembaca apabila ada kesalahan atau kekeliruan baik kata-kata atau penyusunan agar memberikan saran dan kritik yang bisa mengubah penulis kearah yang lebih baik dalam penulisan makalah selanjutnya.















DAFTAR PUSTAKA
Anonim,1997, Mikrobiologi Kedokteran, 127-131, Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta

Anonim, 2008, http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Tetanus4

Anonim,2008,http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_TetanusLokalPadaAnak.pdf/15_TetanusLokalPadaAnak.html




Anonim, 2008, http://en.wikipedia.org/wiki/Tetanus/clostridium_tetani






























Lampiran 1
Pertanyaan – pertanyaan diskusi
1.     Yang mana yang merupakan tempat yang cocok bagi pertumbuhan bakteri, apakah luka kecil atau luka yang dalam ?
( Penanya : Nurul Riskha,Kelompok 10 )
Jawab :
Diantara kedua luka tersebut sebenarnya sama - sama cocok dengan pertumbuhan bakteri Clostridium tetani. Sekalipun dia bukan luka kecil atau dalam, karena dalam proses penularannya bakteri ini dapat menular melalui liuka.
2.     Jelaskan toksin yang terdapat pada Clostridium tetani dan Mengapa Kucing tidak terkena Clostridium tetani ?
( Penanya : Andi Muhammad Syarif, Kelompok 5 )
Jawab :
a)    Yaitu toksin Tetanolisin dan Tetanospasmin. Tetanolisin yang mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.  Sedangkan Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme.
b)   Dalam situs resmi yang kami baca yaitu http://en.wikipedia.org/wiki/Tetanus. yakni “Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam “ . Jadi bakteri ini juga dapat terkena pada kucing.
3.     Bagaimana cara kerja Eksotoksin hingga menyebabkan spasmus otot ?
( Penanya : Venilia Mayopu, Kelompok 8 )
Jawab :
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan. Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulakan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah.Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
4.     Mengapa bakteri Clostridium tetani di golongkan dalam bakteri gram + ?
( Penanya : Ratnawati, Kelompok 12 )
Jawab :
Karena, pada saat identifikasi bakteri C. tetani didapatkan bakteri berbentuk basil berwarna merah.
5.     Berapa lama masa inkubasi dari bakteri Clostridium tetani ?
( Penanya : Deltiva Sawo, Kelompok 4 )
Jawab :
2 Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar